Mamuju, 17 Juni 2025 — Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju kembali menghidupkan ruang intelektual dan kebudayaan melalui kegiatan diskusi penulis bertajuk “Melihat Kebudayaan dari Jendela Bunyi.” Diskusi ini menghadirkan dua penulis, budayawan, sekaligus peneliti musik tradisi Mandar: Sahabuddin Mahganna, penulis buku “Olioreang: Entitas Ritmis dan Melodi Mandar” dan Suparman Sopu, penulis buku “Mesa Kanneq” yang merupakan kumpulan lagu-lagu tradisional.
Kegiatan ini mengajak peserta untuk menengok sejarah dan kebudayaan bukan lagi sekadar melalui teks lontara, artefak, atau cerita tutur, tetapi melalui bunyi. Bunyi yang hidup di tengah masyarakat, yang lahir dari pengalaman kolektif, dan yang terus diwariskan sebagai bagian dari identitas kultural.
Sahabuddin Mahganna menyampaikan bahwa sejak dulu masyarakat Mandar telah memiliki sistem bunyi yang khas dan orisinal. “Mandar sudah punya bunyi sebagai tanda bahwa kita sejak dulu punya peradaban sendiri yang tidak dipengaruhi budaya lain,” ujarnya. Ia menjelaskan asal mula bunya di mandar secara historis dan etnografis.
Sementara itu, Suparman Sopu menekankan bahwa bunyi bukan hanya sebagai ekspresi estetika, melainkan juga representasi jati diri. “Bunyi bisa jadi penanda identitas seseorang,” ungkapnya. ia juga sangat menekankan untuk mempelajari bunyi ini lebih jauh karena bunyi tidak hanya sekadar suara semata.
Diskusi ini dihadiri oleh pegiat literasi dan staf Dispusip Mamuju. Semangatnya adalah memperluas cara pandang dalam memaknai warisan budaya, sekaligus mendorong generasi muda untuk menggali akar identitas melalui pendekatan yang lebih kontekstual.
Muhammad Fausan Basir selaku kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan berharap kegiatan semacam ini akan terus memperkuat posisi perpustakaan sebagai pusat dialog dan pemajuan kebudayaan. “Kita tidak hanya membaca buku, tapi juga mendengarkan sejarah dari bunyi-bunyian yang hidup di sekitar kita. Ini cara baru memahami Mandar dari dalam,” pungkasnya