Pada era digital yang terus berubah ini, siapa yang kita anggap sebagai sumber informasi? Di masa lalu, kita mendengarkan jurnalis, akademisi, atau tokoh masyarakat. Sementara saat ini, ada di antara kita yang lebih mempercayai seorang Youtuber, selebriti online atau selebgram, atau TikToker dibandingkan dengan pemerintah. Dan ini bukan cuma fenomena komunikasi baru, namun juga menandakan bahwa ruang publik telah berubah secara eksponensial dari yang bersifat ideal dan deliberatif menuju personalistik serta sangat berdimensi algoritmik.
Ketakukan akan terjerumusnya masyarakat ke dalam kepercayaan yang tidak kredibel yang kerap kali dihadirkan oleh influencer menjadi alasan mengapa tulisan ini hadir, untuk menegaskan kembali informasi yang tidak valid dapat menimbulkan masalah serius atau meminjam istilah Raim Laode “literasi itu penting karena kebodohan kerap memakan korban” dan kebodohan lahir, salahsatunya dari tidak cakapnya kita memilah informasi.
Peningkatan kepercayaan yang diberikan kepada influencer bukanlah sesuatu yang terasa asing, terlebih ini merupakan dampak dari krisis kepercayaan yang menyerang banyak lembaga dan institusi negara. Masyarakat, dalam hal ini, lelah dengan elit politik, birokrasi, dan media yang memihak satu kelompok tertentu, kemudian beralih kepada figur yang terlihat lebih dekat dengan mereka, dan dianggap lebih jujur. Namun pertanyaanya adalah, masihkah ruang publik digital—tempat dominasi para influencer ini berlangsung—dapat berfungsi sebagai arena demokrasi rasional, sebagaimana yang dipikirkan Habermas?
Dalam bukunya berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Habermas membayangkan ruang publik adalah sebagai arena di mana warga negara dapat dan mau berdebat secara bebas, setara, dan sehat. Di dalam ruang itu, berlaku argumen—bukan status atau kekuasaan—sebagai pengikat dan penentu legitimasi. Diskusi publik yang deliberatif ini menurutnya sebagai prasyarat bagi demokrasi yang sehat
Namun Habermas juga mencatat bahwa ruang publik tidak terlepas dari pengaruh pasar dan negara. Dalam perkembangannya, media massa sebagai medium utama diskursus publik justru dikolonisasi oleh logika kapitalisme dan kekuasaan politik. Retorika konsumsi dan propaganda mendominasi diskursus publik. Semoga dengan munculnya internet dan media sosial, harapan ada bahwa ruang publik digital dapat membebaskan masyarakat dari dominasi tersebut.
Sayangnya, praktiknya tidak seindah teori. Sosial media menawarkan keterbukaan akses, partisipasi yang luas, dan kecepatan informasi, tetapi sistem algoritma justru berbalik dan memproduksi ekosistem baru yang lebih kompleks. Di sisi ini, peran influencer menjadi dominan. Mereka menjadi penentu arah wacana tanpa diskusi mendalam, hanya dengan narasi pribadi yang emosional. Tentu ini bertolak belakang dengan semangat rasionalitas komunikatif yang ditekankan Habermas.
Terlepas dari itu, dalam praktiknya, influencer tidak mewakili diskursus publik, melainkan membentuk komunitas pengikut (followers) yang sangat loyal. Dalam konteks ini, relasi antara influencer dan juga pengikut cenderung emosional. Rancangan dari wacana yang berasal dari mereka pun lazimnya dikemas dengan cara lucu, menyentuh, semi menghibur, dan bukan memberi ruang refleksi serta kritik. Sehingga dalam ruang seperti itu argumen yang logis kalah dengan citra yang bagus dan data serta fakta dikalahkan oleh narasi drama yang emosional
Ini semakin diperparah oleh cara kerja algoritma media sosial. Konten yang menyebabkan keterlibatan tinggi, baik itu suka, bagikan, atau komentar, akan menerima eksposur yang lebih luas. Konten yang emosional, memecah belah, atau bahkan provokatif cenderung lebih baik dibandingkan dengan yang berusaha untuk mendidik atau memberikan refleksi kritis. Logika viralitas lebih menentukan peredaran wacana daripada kualitas ide.
Survei global dari Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga formal terus menurun. Kepercayaan pada “seseorang seperti saya” sedang meningkat. Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana komentar dari selebgram dan TikToker membentuk opini publik, bahkan pada masalah serius seperti politik, vaksinasi, bencana alam, dan konflik sosial. Satu video menyentuh dan publik jauh lebih cenderung untuk mempercayainya daripada membaca siaran pers dari institusi.
Ini menunjukkan pergeseran mengenai siapa yang memiliki otoritas simbolis. Itu bukan lagi seseorang dengan gelar atau posisi, tetapi seseorang yang tahu bagaimana terlibat secara sosial di ranah digital. Mereka yang menampilkan diri “sebagaimana adanya” dan dipersepsikan sebagai “jujur” dan “otentik,” lebih mudah dipercaya daripada mereka yang berkomunikasi dalam bahasa teknis yang penuh dengan prosedur formal.
Ruang publik yang diharapkan menjadi tempat “berpikir bersama” alih-alih berfungsi sebagai panggung “siapa paling menghibur”. Konten konsumsi menggantikan diskusi publik. Pertunjukan menggantikan deliberasi. Menyusul kondisi seperti ini, sangat lemah harapan untuk publik mampu membentuk opini dengan proses rasional, apalagi sistematis seperti yang dibayangkan Habermas.
Zizi Papacharissi (2010), dalam bukunya A Private Sphere: Democracy in a Digital Age, menyebut bahwa ruang publik digital cenderung fragmented, terpecah-pecah. Ia memang memperbolehkan lebih banyak suara, akan tetapi tidak menjamin dialog. Fragmentasi ini menciptakan echo chamber, di mana orang hanya terpapar pada opini yang selaras dan mengabaikan pandangan yang berbeda. Di ekosistem seperti ini, influencer menjadi penghalang—bukannya penghubung dalam dialog— dan justru sering memperkuat batas identitas.
Namun, lebih jauh, gambaran di atas bukan datang dari kebijakan penuh tanpa dasar. Memang telah banyak pihak yang melontarkan kritik dan pandangan berdasarkan logika serupa. Hal itu ‘berdampak’ pada kembali tumbuhnya influencer tanpa perlu mempedulikan esensi di dalam kontennya. Sistem yang lebih mengedepankan popularitas, alih-alih kualitas, menjadi bagian besar dari demokrasi digital. Oleh sebab itu, pembebasan dan pelarangan berlanjut pada peningkatan kesadaran akan tanggungjawab sosial digital.
Para influencer juga harus dibebaskan untuk belajar aktor publik yang baik. Mereka harus dipahami tidak hanya sebagai pencipta konten, tetapi bagian dari ekosistem komunikasi yang membentuk dunia pemikiran orang-orang lain. Di sisi lain, platform digital harus sedikit lebih bertanggung jawab dan merancang algoritma yang relatif lebih adil, dan menginsentifkan eksposur untuk konten yang lebih bermakna.
Pendidikan literasi digital juga harus ditumbuhkembangkan. Publik harus dilengkapi dengan kemampuan untuk membedakan antara opini pribadi dan kebenaran faktual, antara popularitas dan validitas. Kita tidak akan pernah melihat ruang publik yang sehat tumbuh di tengah masyarakat yang baik-baik saja dan mudah terpengaruh. Ruang publik adalah jantung dari keseluruhan sistem kami. Ketika jantung ini berdegup dengan suara-suara pencari perhatian tanpa tanggung jawab, tidak lagi melahirkan demokrasi deliberatif, tapi demokrasi ilusi – ramai, namun kosong.
Habermas menekankan bahwa demokrasi membutuhkan warga yang siap untuk berdialog, mendengarkan, dan berpikir. Apabila ruang publik kita saat ini didominasi oleh monolog para influencer ketimbang dialog antar warga net, maka kita perlu mempertanyakan kembali: jenis demokrasi apa yang sedang kita ciptakan?.
Referensi:
Dahlgren, Peter. “The Internet, Public Spheres, and Political Communication.” Political Communication 22.2 (2005): 147–162.
Edelman. Trust Barometer 2023 Global Report. https://www.edelman.com/trust/2023/trust-barometer
Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press, 1989.
Papacharissi, Zizi. A Private Sphere: Democracy in a Digital Age. Polity Press, 2010.